04 Januari 2010

"Mandikan aku bunda "








Fransisca seorang dokter, dia punya seorang sahabat dekat namanya Rani.  Rani adalah seorang staf diplomat.  Suaminya juga setara dengannya, tetapi memiliki profesi yang berbeda.  Pendidikan suami istri itu sama-sama tinggi. Mereka memiliki seorang anak bernama  Alifya.  Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu, berusia enam bulan, Rani justru semakin sibuk dengan pekerjaannya.  Ia sering pergi dari satu kota ke kota lain atau dari satu negara ke negara lain.

Fransisca sebagai teman dekatnya pernah bertanya, ”Tidakkah!, Alif terlalu kecil untuk ditinggal?”  Rani menjawab, ”Saya sudah persiapkan segala sesuatunya. Everything is ok.”  Dan itu betul-betul ia buktikan.  Perawatan dan perhatian kepada anaknya, walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter, betul-betul mengagumkan.  Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas, dan pengertian.

Kakek-neneknya selalu mengatakan kepada cucu semata wayangnya tersebut, ”Tirulah ayah-bunda kalau Alif besar nanti.”  Begitu selalu nenek Alif, ibu Rani, bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya.  Tidak salah memang.  Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaan!

Ketika Alif berusia tiga tahun, Rani bercerita kepada dr Fransisca temannya bahwa Alif meminta adik.  Waktu itu ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih sayang bahwa karena kesibukan mereka, belum mungkin untuk menghadirkan seorang adik buat Alif.  Bocah kecil itu pun “dapat memahami” orang tuanya.

Alif bukan tipe anak yang suka merengek.  Jika kedua orangtuanya pulang larut malam, ia jarang sekali marah.  Alif selalu menyambut ayah-ibunya dengan penuh kebahagiaan.  Rani bahkan menyebutnya sebagai malaikat kecil.  Sungguh keluarga yang bahagia, pikir dr. Fransisca.  Meskipun kedua orangtua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta.  Diam-diam, hati kecil dr. Fransisca menginginkan anak seperti Alif.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan oleh baby sitternya.  ”Alif ingin dimandikan Bunda,”  ujarnya.  Rani sedang bergegas ke kantor, karena setiap detik sangat diperhitungkan, Rani menjadi gusar.  Suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tante Mien, baby sitternya.  Peristiwa itu berulang sampai sepekan, ”Bunda, mandikan Alif,” begitu setiap pagi.  Rani dan suaminya berpikir mungkin karena Alif sedang  dalam masa peralihan ke masa sekolah sehingga mau minta perhatian lebih.

Suatu sore, dr. Fransisca dikejutkan oleh telepon Mien, sang baby sitter Rani  ”Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang, sekarang di rumah sakit, ruang gawat darurat.”  dr Fransisca pun ngebut ke UGD.  Tapi ternyata Tuhan memiliki rencana lain.  Alif, si malaikat kecil laksana wayang itu telah dipanggil Yang Maha Kuasa.  Rani, bundanya, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor barunya, shock berat.  Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan adalah memandikan anaknya.  Dan itu memang Rani lakukan meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku.  ”Ini bunda Lif.  Bunda mandikan Alif ya, sayang”, ucapnya lirih, tetapi teramat pedih.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, dr Fransica , Rani, keluarga serta teman-teman mereka masih berdiri mamatung.   Berkali-kali Rani, mendengar ucapan dari sahabat Rani, ”Ini sudah takdir, iya kan!  Kita disebelahnya ataupun  diseberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga, kan!”  Rani diam saja mendengar ucapan temannya.  ”Ini konsekuensi dari sebuah pilihan, ”  lanjut temannya, tetap tegar dan kuat.

Hening sejenak.  Angin senja berbaur aroma kamboja.  Tiba-tiba Rani tertunduk.  ”Aku ibumu!”  serunya kemudian, ”Bangunlah Lif.  Bunda mau mandikan Alif.  Beri kesempatan bunda sekali lagi saja, Lif”  Rintihan itu begitu menyayat.  Detik  berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-gais tanah merah itu.

Inspirasi
Banyak keluarga masa kini yang menggantungkan dan menyerahkan urusan rumah tangganya kepada pembantu.  Bahkan urusan merawat anak pun diserahkan sepenuhnya kepada baby sitter.  Suami istri sama-sama sibuk bekerja dan mengejar karier masing-masing.  Jabatan, pangkat, dan uang yang selama ini telah diperoleh sepertinya sayang jika harus ditinggalkan sehingga harus terus diperjungkan.  Urusan rumah tangga dinilai beres, asalkan masih bisa memenuhi kebutuhan anak, membayar pengeluaran rutin rumah tangga (listrik, telepon, air, pajak, cicilan sana sini, dll ), dan membayar gaji pembantu atau baby sitter.  Lantas bagaimana dengan pendidikan anak?  Bukan hanya pendidikan secara intelektual, tetapi juga keperibadiaan, mengingat waktu anak yang sebagian besar dihabiskan di rumah.  Apakah kita akan tetap mempercayakan pendidikan sepenuhnya kepada baby sitter?  Kisah Rani di atas, tentang orangtua yang tidak tahu kondisi kesehatan anaknya karena sibuk dengan kariernya masing-masing, sungguh memberikan pelajaran berharga, tak hanya bagi Rani  tetapi juga para orangtua lain.

Alangkah baiknya jika urusan karier dan rumah tangga berjalan seimbang, sebelum semuanya terlambat dan menyesal di kemudian hari.  Apa yang kita cari di dunia?  Harta apa yang paling kita cintai? ”Now or Never forever” BAIT


1 komentar:

Anonim mengatakan...

ini lah hidup....
lebih byk manusia yang mementingkan uang dibaning keluarga or Tuhan..

uang emang penting...tapi jgn di no.1 in...(o_O')




**from : your fren**